Transparansi
dan Demokrasi
Stella
Damarjati, wanita Indonesia yang sudah menjadi warga Australia selama 20
puluhan tahun mulai menaruh kecintaan pada masalah di negara kelahirannya.
Sebelumnya wanita ini tidak pernah mau tahu apa yang terjadi dan sejauh mana
perkembangan di Indonesia. Setiap tahun mengikuti acara Indonesia Festival di
Australia, wanita ini hanya kagum dengan kekayaan budaya tanah kelahirannya.
Baru di acara Indonesia festival (Indofest 5 Oktober 2015) di Adelaide,
Australia, wanita ini mengetahui arti lambang bendera negara kelahirannya, ‘Red
is courage and white is purity.‘ Stella pun menggeleng-gelengkan kepala sembari
mengkritisi bahwa apa yang terjadi di Indonesia tidak mencerminkan merah
artinya berani dan putih artinya kemurnian, kesucian, and kejujuran.
Di
mana cacatnya? Stella menjelaskan, pertama, cacatnya warna putih ketika
Indonesia sarat dengan korupsi bahkan oleh aparat aparat penegak hukum seperti
video youtube saat polisi mendapat setoran dari para supir bus, truck, dan
angkutan yang lewat. Kedua, cacatnya warna merah ketika tidak ada keberanian
untuk memberantas korupsi. Sederhananya, dia mau mengatakan makna warna bendera
merah putih tidak relevan lagi ketika negara kelahirannya menderita sakit akut
korupsi bahkan aktornya adalah penegak hukum sendiri.
Lepas
dari cerita Stella, di Australia-tempat penulis mengenyam pendidikan sangat
jarang kita menemukan penegak hukum berkeliaran di jalan. Namun dipastikan
mereka segera hadir bila ada persoalan. Ketika ditahan polisi karena melanggar
aturan, pelanggar tidak diperkenankan membayar cash. Nomor polisi kendaraan
dicatat dan dalam satu hingga dua minggu pelanggar akan menerima surat fine
(denda) dari polisi lengkap dengan jenis pelanggaran, tempat, waktu. Dengan
surat itu, pelanggar boleh membayar di kantor atau juga bisa secara online.
Kalau pelanggaran lalu lintas ditangkap safety camera, dalam satu dua pekan
akan menerima surat denda, lengkap dengan foto pelanggaran tersebut.
Belum
lama ini kita dihebohkan dengan polemic anggaran siluman 12 triliun dalam
rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 yang diajukan DPRD
DKI Jakarta. Dana tidak wajar dengan jumlah bombastis ini menjadi perdebatan
sengit antara gubernur DKI Jakarta dan DPRD. Anggota dewan berdalih tidak
mengetahui draft dokumen itu. Namun common sense public bisa menebak. Lantaran
itu, Ahok, mendesak urgensitas e-budgeting dalam RAPBD agar tidak menimbulkan
prasangka serentak membangkitkan kembali public trust.
Ahok
pun berjanji memasang sekitar 6.000 CCTV yang terhubung dengan pusat komando di
Polda. Ini untuk memantau berbagai hal mulai dari lalu lintas hingga kondisi
keamanan lingkungan.
Contoh
terbaru adalah laporan biaya perjalanan dinas Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama ke Rotterdam, Belanda pada 19-23 September 2015 di situs
Ahok.org pada pada 28 September. Total biaya perjalanan sekitar Rp.115 juta.
Sementara FITRA menyebut total biaya perjalanan anggota DPR Setya Novanto,
Fadli Zon dan rombongannya ke Amerika Serikat memakan biaya sebesar Rp.4,631
miliar untuk 12 hari.
Sebagian
menilai transparansi dan keberanian ala Ahok meminimalisir korupsi terlalu
berlebihan. Bisa saja untuk mendapat simpati masyarakat. Juga terlalu
tendensius menyebut besaran biaya perjalanan DPR. Sebagian lagi melihat sebagai
langkah yang baik untuk membongkar dan membendung praktek korupsi sistemik.
Argumentasi pertama menyederhanakan persoalan pada pasar elektabilitas. Padahal
demokrasi tidak hanya sebatas ini. Opini kedua bisa dipakai untuk memahami
konteks masalah kebangsaan yang tertutup boroknya selama 32 tahun dan mulai
terang benderang sejak era reformasi. Di poin ini, transparansi yang dianggap
berlebihan ini mutlak perlu.
Demokrasi
dan Transparansi
Apakah
system demokrasi lebih tranparan dibandingkan dengan resim politik yang lain?
Banyak ahli mengatakan transparansi sinonim dengan demokrasi. Shapiro (2003)
dalam bukunya the Moral Foundations of Politics mengatakan pemimpin demokrasi
tidak pernah bebas dari komitment untuk mengatakan kebenaran. Dalam demokrasi
tidak ada alasan untuk memberikan seluruh informasi kebijakan kepada public
(Hollyer dan Rosendorf 2011).
Indonesia
memiliki instrument yang bertugas memberi kepastian hukum dan mengawal
transparansi di semua sektor. Kepolisiaan, Kejaksaan, BPK, dan kehakiman adalah
bagian dari alat negara itu. Namun, ketidakpercayaan public terhadap
institusi-institusi ini sudah mengental meski public tidak dapat mengelak
ketika berhadapan dengan masalah. Satu-satunya institusi yang masih diharapkan
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berani menjerujikan para mantan
hingga pejabat negara yang terbukti bersalah. Sayangnya, kini figur-figur
militan anti korupsi di lembaga ini dikriminalisasikan dan upaya pelemahan KPK
pun makin unjuk taringnya.
Tentunya
proses transparansi dan akuntabilitas yang tengah berjalan menjadi sinyal bahwa
semangat untuk bersih tetap dikedepankan. Merah putih tetap relevan. Meski
diakui tidak sedikit pemain lama yang alergi dengan perubahan. Dari cerita
Stella hingga transparansi jenis Gubernur DKI Jakarta kita mengerti bahwa
transparansi menjadi jantung demokrasi Indonesia.
No comments:
Post a Comment