Gengsi
Kemandirian dan Urgensi Kebutuhan
*Gregorius
Abanit Asa
Belum
lama ini pemerintah Indonesia menolak bantuan negara Singapura untuk pemadaman
kebakaran hutan dan lahan. Singapura sendiri sangat terganggu dengan kabut asap
kiriman Indonesia. Apalagi jarak dengan negara julukan Singa ini sangat dekat
dengan titik api kebakaran. Sementara argumentasi pemerintah Indonesia bukan
menolak tetapi tidak mau nanti diklaim oleh negara lain. Dengan kata lain,
pemerintah sangat hati-hati dengan bantuan luar negeri agar tidak dibilang
tergantung pada negara tetangga. Sebab pemerintah RI tengah sangat serius
mengatasi persoalan asap yang masih terjadi.
Belakangan
sikap pemerintah terbuka dengan bantuan. Tidak saja Singapura, Thailand juga
siap membantu setelah ada persetujuan pemerintah RI. Selain Singapura, Presiden
juga telah meminta bantuan dari Rusia, Malaysia, dan Jepang (BBC, 8 Oktober
2015).
Kita
memahami masalah kebakaran hutan dan penanganannya memang complex. Sebab ini
merupakan pembakaran yang terorganisir. Pelakunya berjejaring mulai dari
individu, perusahan, orang-orang kuat di level kabupaten, propinsi, nasional
hingga tingkat ASEAN (BBC 24 September). Namun untuk kebakaran skala massif
apakah pelaku individu bisa dijustifikasi? Ataukah dominasi cuci tangan
korporasi terhadap individu yang dibayar?. Kebakaran yang terorganisir hingga
tingkat ASEAN inilah yang mungkin membuat pemerintah banyak berhitung atau
hati-hati meminta bantuan negara tetangga. Apalagi beberapa perusahaan
asal Malaysia, Singapura, dan Australia diduga terlibat dalam kebakaran hutan
ini. Belum lagi kalkulasi ekonomis soal berapa banyak pekerja yang kehilangan
mata pencharian jika aktivitas puluhan perusahaan yang diduga terlibat dalam
kebakaran hutan disetop.
Gengsi
kemandirian dan urgensi kebutuhan
Indonesia
memang harus menempuh jalan kemandirian agar menjadi negara hebat dan berdaulat
termasuk memecahkan persoalan sendiri. Kehati-hatian menerima dan meminta
bantuan Negara tetangga mungkin dipahami dalam konteksi ini. Bahwa kebakaran
dan kabut asap tebal yang sudah menjadi tamu tahunan di setiap musim panas,
melumpuhkan aktivitas warga sekitar termasuk meliburkan aktivitas sekolah untuk
waktu yang tak tentu, mengganggu Negara tetangga, bahkan berkontribusi dalam
korban jiwa, dapat diatasi sendiri. Padahal, dalam konteks kebakaran hutan jika
dilihat dari motivasi bantuan adalah solidaritas tetangga yang tidak hanya
prihatin tetapi juga terkena dampak.
Apakah
bentuk solidaritas ini mengganggu proses menuju kemandirian? Pertanyaan ini
layak didalami. Jika tidak pemerintah terjebak dalam dilema gengsi kemandirian
dan urgensi kebutuhan. Ibarat dokter yang sakit terkapar tapi enggan meminta
bantuan perawat ataupun dokter lain. Gengsi kedaulatan model ini tidak hanya
berimbas pada makin meluasnya kerusakan fisik seperti makin meluas area hutan
terbakar dan makin banyak korban sakit, tetapi juga makin melubernya potensi
kerugian yang bakal dialami.
Argumentasi
wakil presiden Jusuf Kalla tentang sikap Indonesia yang kemudian menerima
bantuan Negara Malaysia dan Singapura sangat tendensius. Bahwa agar mereka tahu
bagaimana sulitnya memadamkan api (Tempo 9 Oktober 2015). Tanpa menyederhanakan
persoalan, logika berpikir ini memaksa kita mengambil simpulan bahwa sikap
penerimaan ini adalah sebuah keterpaksaan, terkungkung dalam kerangka sempit
gengsi kemandirian, dan belum menembus ruang-ruang solidaritas. Sesederhananya,
lagi-lagi pemerintah masih gengsi untuk berjiwa besar mengatakan butuh bantuan.
Ketegasan
Pemerintah
Belasan
tahun kebakaran hutan dan lahan pertanda pemerintah tidak tegas. Seperti anjing
menggonggong kafila berlalu. Pemerintah hanya mengancam tetapi operasi
perusahaan pembakar hutan tetap berjalan. Di era sebelumnya, mantan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pernah marah-marah pada para menteri setelah mendapat
protes dari Negara tetangga akibat kabut asap. Namun, kebakaran tetap saja
terjadi.
Kali
ini di era Jokowi lagi-lagi kabut asap mengganggu beberapa Negara tetangga.
Sikap pemerintah sudah jelas secara narasi untuk segera memadamkan api. Pemerintah
pun berjanji menindak tegas dengan mencabut izin operasional perusahaan yang
terlibat pembakaran-setidaknya 20-han perusahaan. Jumlah ini tidak sedikit dan
menjadi pertanda hutan kita kelilingi mafia pembakar hutan.
Akankah
kita dihadapkan pada litani penderitaan yang sama; asap-sakit-kematian-teguran
negara tetangga. Kondisi yang sama terulang lagi dan kita hanya berputar pada
lingkaran kebakaran-kunjung lokasi-ancaman. Pemerintah perlu lebih tegas.
Meski
demikian, berubahnya sikap pemerintah dari menolak ke menerima dalam tempo yang
cukup singkat patut diapresiasi. Apresiasi ini bukan semata karena menerima
tetapi juga mengambil inisiatif untuk meminta bantuan.
Sebagian
menilai pemerintah tidak konsisten. Mengatakan menolak kemudian menerima. Sebagian
lagi melihat ini bukan semata soal konsistensi tetapi bagaimana urgensitas
kebutuhan di atas segalanya ketika ribuan ribuan orang terganggu kesehatannya
karena asap dan de facto kebakaran lahan gambut bukan
kebakaran biasa. Karena itu sikat keha-hatian ini mutlak perlu.
Tentu
kompleksitas kebakaran hutan tidak bisa diatasi dalam waktu satu dua tahun
bahkan satu periode presiden Jokowi menjabat. Tetap dibutuhkan sikap cepat
tanggap dari pemerintah dan mengantisipasi agar tidak separah dari tahun ini dan
tahun-tahun sebelumnya. Di sinilah kemandirian sebuah bangsa terukur agar tidak
dibilang malu karena gengsi.
No comments:
Post a Comment