Sunday 1 November 2015

Transparansi dan Demokrasi 

Stella Damarjati, wanita Indonesia yang sudah menjadi warga Australia selama 20 puluhan tahun mulai menaruh kecintaan pada masalah di negara kelahirannya. Sebelumnya wanita ini tidak pernah mau tahu apa yang terjadi dan sejauh mana perkembangan di Indonesia. Setiap tahun mengikuti acara Indonesia Festival di Australia, wanita ini hanya kagum dengan kekayaan budaya tanah kelahirannya. Baru di acara Indonesia festival (Indofest 5 Oktober 2015) di Adelaide, Australia, wanita ini mengetahui arti lambang bendera negara kelahirannya, ‘Red is courage and white is purity.‘ Stella pun menggeleng-gelengkan kepala sembari mengkritisi bahwa apa yang terjadi di Indonesia tidak mencerminkan merah artinya berani dan putih artinya kemurnian, kesucian, and kejujuran.

Di mana cacatnya? Stella menjelaskan, pertama, cacatnya warna putih ketika Indonesia sarat dengan korupsi bahkan oleh aparat aparat penegak hukum seperti video youtube saat polisi mendapat setoran dari para supir bus, truck, dan angkutan yang lewat. Kedua, cacatnya warna merah ketika tidak ada keberanian untuk memberantas korupsi. Sederhananya, dia mau mengatakan makna warna bendera merah putih tidak relevan lagi ketika negara kelahirannya menderita sakit akut korupsi bahkan aktornya adalah penegak hukum sendiri.

Lepas dari cerita Stella, di Australia-tempat penulis mengenyam pendidikan sangat jarang kita menemukan penegak hukum berkeliaran di jalan. Namun dipastikan mereka segera hadir bila ada persoalan. Ketika ditahan polisi karena melanggar aturan, pelanggar tidak diperkenankan membayar cash. Nomor polisi kendaraan dicatat dan dalam satu hingga dua minggu pelanggar akan menerima surat fine (denda) dari polisi lengkap dengan jenis pelanggaran, tempat, waktu. Dengan surat itu, pelanggar boleh membayar di kantor atau juga bisa secara online. Kalau pelanggaran lalu lintas ditangkap safety camera, dalam satu dua pekan akan menerima surat denda, lengkap dengan foto pelanggaran tersebut.

Belum lama ini kita dihebohkan dengan polemic anggaran siluman 12 triliun dalam rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 yang diajukan DPRD DKI Jakarta. Dana tidak wajar dengan jumlah bombastis ini menjadi perdebatan sengit antara gubernur DKI Jakarta dan DPRD. Anggota dewan berdalih tidak mengetahui draft dokumen itu. Namun common sense public bisa menebak. Lantaran itu, Ahok, mendesak urgensitas e-budgeting dalam RAPBD agar tidak menimbulkan prasangka serentak membangkitkan kembali public trust.

Ahok pun berjanji memasang sekitar 6.000 CCTV yang terhubung dengan pusat komando di Polda. Ini untuk memantau berbagai hal mulai dari lalu lintas hingga kondisi keamanan lingkungan.

Contoh terbaru adalah laporan biaya perjalanan dinas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ke Rotterdam, Belanda pada 19-23 September 2015 di situs Ahok.org pada pada 28 September. Total biaya perjalanan sekitar Rp.115 juta. Sementara FITRA menyebut total biaya perjalanan anggota DPR Setya Novanto, Fadli Zon dan rombongannya ke Amerika Serikat memakan biaya sebesar Rp.4,631 miliar untuk 12 hari.

Sebagian menilai transparansi dan keberanian ala Ahok meminimalisir korupsi terlalu berlebihan. Bisa saja untuk mendapat simpati masyarakat. Juga terlalu tendensius menyebut besaran biaya perjalanan DPR. Sebagian lagi melihat sebagai langkah yang baik untuk membongkar dan membendung praktek korupsi sistemik. Argumentasi pertama menyederhanakan persoalan pada pasar elektabilitas. Padahal demokrasi tidak hanya sebatas ini. Opini kedua bisa dipakai untuk memahami konteks masalah kebangsaan yang tertutup boroknya selama 32 tahun dan mulai terang benderang sejak era reformasi. Di poin ini, transparansi yang dianggap berlebihan ini mutlak perlu.

Demokrasi dan Transparansi 

Apakah system demokrasi lebih tranparan dibandingkan dengan resim politik yang lain? Banyak ahli mengatakan transparansi sinonim dengan demokrasi. Shapiro (2003) dalam bukunya the Moral Foundations of Politics mengatakan pemimpin demokrasi tidak pernah bebas dari komitment untuk mengatakan kebenaran. Dalam demokrasi tidak ada alasan untuk memberikan seluruh informasi kebijakan kepada public (Hollyer dan Rosendorf 2011).

Indonesia memiliki instrument yang bertugas memberi kepastian hukum dan mengawal transparansi di semua sektor. Kepolisiaan, Kejaksaan, BPK, dan kehakiman adalah bagian dari alat negara itu. Namun, ketidakpercayaan public terhadap institusi-institusi ini sudah mengental meski public tidak dapat mengelak ketika berhadapan dengan masalah. Satu-satunya institusi yang masih diharapkan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berani menjerujikan para mantan hingga pejabat negara yang terbukti bersalah. Sayangnya, kini figur-figur militan anti korupsi di lembaga ini dikriminalisasikan dan upaya pelemahan KPK pun makin unjuk taringnya.

Tentunya proses transparansi dan akuntabilitas yang tengah berjalan menjadi sinyal bahwa semangat untuk bersih tetap dikedepankan. Merah putih tetap relevan. Meski diakui tidak sedikit pemain lama yang alergi dengan perubahan. Dari cerita Stella hingga transparansi jenis Gubernur DKI Jakarta kita mengerti bahwa transparansi menjadi jantung demokrasi Indonesia.


No comments:

Post a Comment