Sunday 1 November 2015


Gengsi Kemandirian dan Urgensi Kebutuhan
*Gregorius Abanit Asa

Belum lama ini pemerintah Indonesia menolak bantuan negara Singapura untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Singapura sendiri sangat terganggu dengan kabut asap kiriman Indonesia. Apalagi jarak dengan negara julukan Singa ini sangat dekat dengan titik api kebakaran. Sementara argumentasi pemerintah Indonesia bukan menolak tetapi tidak mau nanti diklaim oleh negara lain. Dengan kata lain, pemerintah sangat hati-hati dengan bantuan luar negeri agar tidak dibilang tergantung pada negara tetangga. Sebab pemerintah RI tengah sangat serius mengatasi persoalan asap yang masih terjadi.

Belakangan sikap pemerintah terbuka dengan bantuan. Tidak saja Singapura, Thailand juga siap membantu setelah ada persetujuan pemerintah RI. Selain Singapura, Presiden juga telah meminta bantuan dari Rusia, Malaysia, dan Jepang (BBC, 8 Oktober 2015).

Kita memahami masalah kebakaran hutan dan penanganannya memang complex. Sebab ini merupakan pembakaran yang terorganisir. Pelakunya berjejaring mulai dari individu, perusahan, orang-orang kuat di level kabupaten, propinsi, nasional hingga tingkat ASEAN (BBC 24 September). Namun untuk kebakaran skala massif apakah pelaku individu bisa dijustifikasi? Ataukah dominasi cuci tangan korporasi terhadap individu yang dibayar?. Kebakaran yang terorganisir hingga tingkat ASEAN inilah yang mungkin membuat pemerintah banyak berhitung atau hati-hati meminta bantuan negara tetangga.  Apalagi beberapa perusahaan asal Malaysia, Singapura, dan Australia diduga terlibat dalam kebakaran hutan ini. Belum lagi kalkulasi ekonomis soal berapa banyak pekerja yang kehilangan mata pencharian jika aktivitas puluhan perusahaan yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan disetop.

Gengsi kemandirian dan urgensi kebutuhan
Indonesia memang harus menempuh jalan kemandirian agar menjadi negara hebat dan berdaulat termasuk memecahkan persoalan sendiri. Kehati-hatian menerima dan meminta bantuan Negara tetangga mungkin dipahami dalam konteksi ini. Bahwa kebakaran dan kabut asap tebal yang sudah menjadi tamu tahunan di setiap musim panas, melumpuhkan aktivitas warga sekitar termasuk meliburkan aktivitas sekolah untuk waktu yang tak tentu, mengganggu Negara tetangga, bahkan berkontribusi dalam korban jiwa, dapat diatasi sendiri. Padahal, dalam konteks kebakaran hutan jika dilihat dari motivasi bantuan adalah solidaritas tetangga yang tidak hanya prihatin tetapi juga terkena dampak.

Apakah bentuk solidaritas ini mengganggu proses menuju kemandirian? Pertanyaan ini layak didalami. Jika tidak pemerintah terjebak dalam dilema gengsi kemandirian dan urgensi kebutuhan. Ibarat dokter yang sakit terkapar tapi enggan meminta bantuan perawat ataupun dokter lain. Gengsi kedaulatan model ini tidak hanya berimbas pada makin meluasnya kerusakan fisik seperti makin meluas area hutan terbakar dan makin banyak korban sakit, tetapi juga makin melubernya potensi kerugian yang bakal dialami.

Argumentasi wakil presiden Jusuf Kalla tentang sikap Indonesia yang kemudian menerima bantuan Negara Malaysia dan Singapura sangat tendensius. Bahwa agar mereka tahu bagaimana sulitnya memadamkan api (Tempo 9 Oktober 2015). Tanpa menyederhanakan persoalan, logika berpikir ini memaksa kita mengambil simpulan bahwa sikap penerimaan ini adalah sebuah keterpaksaan, terkungkung dalam kerangka sempit gengsi kemandirian, dan belum menembus ruang-ruang solidaritas. Sesederhananya, lagi-lagi pemerintah masih gengsi untuk berjiwa besar mengatakan butuh bantuan.

Ketegasan Pemerintah
Belasan tahun kebakaran hutan dan lahan pertanda pemerintah tidak tegas. Seperti anjing menggonggong kafila berlalu. Pemerintah hanya mengancam tetapi operasi perusahaan pembakar hutan tetap berjalan. Di era sebelumnya, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah marah-marah pada para menteri setelah mendapat protes dari Negara tetangga akibat kabut asap. Namun, kebakaran tetap saja terjadi.

Kali ini di era Jokowi lagi-lagi kabut asap mengganggu beberapa Negara tetangga. Sikap pemerintah sudah jelas secara narasi untuk segera memadamkan api. Pemerintah pun berjanji menindak tegas dengan mencabut izin operasional perusahaan yang terlibat pembakaran-setidaknya 20-han perusahaan. Jumlah ini tidak sedikit dan menjadi pertanda hutan kita kelilingi mafia pembakar hutan.

Akankah kita dihadapkan pada litani penderitaan yang sama; asap-sakit-kematian-teguran negara tetangga. Kondisi yang sama terulang lagi dan kita hanya berputar pada lingkaran kebakaran-kunjung lokasi-ancaman. Pemerintah perlu lebih tegas.
Meski demikian, berubahnya sikap pemerintah dari menolak ke menerima dalam tempo yang cukup singkat patut diapresiasi. Apresiasi ini bukan semata karena menerima tetapi juga mengambil inisiatif untuk meminta bantuan.

Sebagian menilai pemerintah tidak konsisten. Mengatakan menolak kemudian menerima. Sebagian lagi melihat ini bukan semata soal konsistensi tetapi bagaimana urgensitas kebutuhan di atas segalanya ketika ribuan ribuan orang terganggu kesehatannya karena asap dan de facto kebakaran lahan gambut bukan kebakaran biasa. Karena itu sikat keha-hatian ini mutlak perlu.

Tentu kompleksitas kebakaran hutan tidak bisa diatasi dalam waktu satu dua tahun bahkan satu periode presiden Jokowi menjabat. Tetap dibutuhkan sikap cepat tanggap dari pemerintah dan mengantisipasi agar tidak separah dari tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Di sinilah kemandirian sebuah bangsa terukur agar tidak dibilang malu karena gengsi.


No comments:

Post a Comment